Sabtu, 12 Desember 2009

ini kisahku: bagaimana denganmu?

Aku tahu kita berbeda. Bukan, bukan karena kamu atau aku bukan manusia. Bukan itu. Kita berbeda karena satu hal. Satu hal yang yang membuat kita takkan pernah sama. Meski begitu, apakah kamu sadar bahwa aku selalu berusaha menyamakan pandanganku denganmu?

Aku ingat waktu itu, di pinggir pantai yang tenang. Lagit berwarna oranye. Aku berdiri menunggu. Entah apa, yang jelas aku sedang menantikan sesuatu dan kamu menghampiriku. Kamu membawa serta anjingmu. Langit oranye dan anjing itu kuning.

Anjing kuningmu bernama Ivan.
Ivan menatapku, ia tak mengerti siapa aku.
Kamu tak mengenalkan Ivan padaku.
Ivan mengenalkan dirinya padaku.

Oke, aku tahu itu mustahil. Tapi aku dan kamu langsung merasa dekat dalam lima menit pertama perkenalan kita. Kamu menceritakan segala hal padaku, dan aku mendengarkan. Dalam lima menit, aku tahu segalanya tentangmu. Ivan tetap sebagai latar belakang.

Besok kita bertemu lagi di pantai yang sama. Kali ini kamu datang bertiga. Dirimu, Ivan dan hormon testosteron. Entahlah, baru kali ini aku melihat dirimu yang sebenarnya. Mungkin testosteron menguatkan eksistensimu. Ivan tetap sebagai latar belakang, tapi kini ia tersenyum padaku.

Tapi kamu diam.
Mukamu keras.
Kamu berpikir terlalu jauh.
Aku mendiamkanmu.
Aku bercengkrama dengan Ivan.

Langit tak lagi oranye, tapi hijau. Aku berdiri menunggu. Entah apa, yang jelas aku sedang menantikan sesuatu dan Ivan datang menghampiriku. Ivan membawa serta kamu. Kemudian dia langsung pergi. Langit hijau dan kamu ungu.

Kita semakin dekat.
Ivan tak lagi jadi latar belakang.
Hanya ada kita berdua.
Aku dan kamu.

Kita menjadi semakin dekat. Kamu mulai berani menemuiku di mana saja. Tak cuma di pantai, kamu menemuiku ketika aku sedang kuliah, makan siang, memasak, nonton, bahkan kamu juga menemuiku di toilet. Kita menjadi semakin dekat.

Hari ini kamu menemuiku di taman. Taman bunga dengan lebah- lebah yang terus menerus mendengung. Kamu membawa juga sahabat lamamu, testosteron.

Kita berbincang akrab. Kita berbincang tentang esensi kehidupan. Juga kesamaan karakter kita. Kala itu, langit berwarna putih.

Sampai lima jam kita berbincang dan aku baru menyadari sesuatu. Ivan tak muncul. Aku menanyakannya padamu dan kamu menjawab bahwa Ivan sudah tak ada. Kamu telah melemparnya ke laut ketika kita sedang berbincang di pantai. Ivan si anjing kuning sedang mengobrol bersama ikan badut di sela- sela karang.

Aku menanyakan padamu kronologis mengapa kamu tega melemparkan Ivan ke laut. Dan kamu berkata.

‘Aku sedang menemuimu, dan Ivan membutuhkanku. Aku tahu ia sedang menarik perhatianku, tapi aku mengacuhkannya. Kami bertengkar. Ivan bilang, ada ikan badut di sela- sela karang yang mempunyai lebih banyak waktu daripada aku. Dia benci diriku yang terus- menerus menemuimu. Dia tidak benci dirimu, tetapi aku. Aku marah dan kemudian, aku melemparkannya ke laut, biar dia senang.”

Aku senang mendengarnya.

***

Aku tahu kita berbeda. Bukan, bukan karena kamu atau aku bukan manusia. Bukan itu. Tetapi sudut pandang kita.

***

Aku sedang berdiri di pinggir pantai ketika kamu menemuiku. Kamu mengatakan bahwa kamu ingin dekat denganku. Aku sedang dipenuhi oleh esterogen maka aku menyambutmu. Kita menjadi dekat. Langit berwarna cokelat ketika kita berdekatan.

Kamu memegang tanganku.
Kamu memberikan bahumu.
Kamu membelikanku sebuah hubungan.
Kamu meracau!

Kita sedang berjalan- jalan di hutan ketika kamu menemukan sebuah lubang. Aku berpamitan untuk pulang lebih dulu dan kamu memutuskan untuk memasuki lubang itu.

Langit berwarna perak dan anjing itu kuning. Kamu menemukan seekor anjing dalam lubang itu dan kamu menamakannya Kinan. Kamu ingin membawanya pulang, tapi Kinan terlanjur terikat kencang di lubang itu. Tak bisa kemana- mana.

Esok paginya, kamu menunjukkan Kinan padaku
Kamu bersemangat.
Testosteron menguasaimu.

Kamu mencari segala macam cara untuk membawa Kinan pulang. Aku tak setuju. Kinan telah mempunyai rumahnya sendiri. Dia telah hidup di situ bertahun- tahun dan kamu hendak merenggut Kinan dari rumahnya. Tetapi kamu bilang, Kinan merasa tersiksa di lubang itu. Kamu hendak memberinya tempat yang nyaman. Kamu meminta bantuanku untuk membawa pulang Kinan dan aku menolak. Aku merasa Kinan sudah cukup bahagia di lubang itu.

Kamu berapi- api. Kamu membawa segala macam perkakas untuk membebaskan Kinan. Kamu membawa pisau, berbagai macam pisau, pisau lipat, pisau silet hingga pisau dapur. Tak cukup hanya itui, kamu juga membawa gergaji listrik dan alat berat. Tapi Kinan tak juga bisa dibebaskan. Aku merasa menang.

Kamu terpuruk.
Aku mendiamkanmu.
Kinan mengajakku berbincang.
Kamu sebagai latar belakang.

Kamu tak pernah menemuiku lagi, langit berwarna hitam dan airmataku juga hitam.Aku berdiri di pinggir pantai. Menatap jauh ke depan, memandang Ivan yang sedang bertelekan dengan ikan badut. Aku sedang berusaha meresapi sebuah pesan. Tadi pagi, ketika aku baru bangun tidur, aku menemukan sebuah pesan darimu. Pesan yang ditulis dengan tinta biru diatas kertas yang juga biru. Sebuah pesan yang mengatakan bahwa kamu sudah bercinta dengan Kinan.

***

Aku tahu kita berbeda. Bukan karena kamu atau aku bukan manusia. Bukan itu, tetapi karena kamu lelaki dan aku perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar