Hari ini, kamu datang dengan penuh kejutan. Aku sampai kaget melihatmu. Tak biasanya kamu datang tepat waktu. Maaf, bukankah ini realita? Kau sering datang terlambat jika menjemputku. Tapi, tak usah permasalahkan, bukankah ini adalah sebuah perubahan yang bagus. Penampilanmu juga jauh lebih rapi. Hei! Bukankanh selama ini kau memang rapi? Tunggu dulu, tapi memang kamu jauh lebih tampan malam ini. Kemeja hitam di tubuhmu sungguh membuatmu sangat tampan. Sebentar, kamu juga memangkas rambutmu. Apa itu? Bukankah itu mobilmu? Hebat! Tampak seperti baru. Kamu mencucinya bersih- bersih.
Sekarang kamu berjalan mendekatiku. Wangi tubuhmu tercium begitu segar. Apakah itu parfum yang pernah kuberikan untukmu? Ahh! Benar! Aku mengenalinya. Oh, astaga! Kamu benar- benar berubah malam ini. Itukah janji yang kamu katakana dulu sebelum berangkat ke Singapura sebulan yang lalu? Kejutan yang kamu sebut akan membuatku terkejut? Kalau iya, kamu berhasil! Aku sampai tak mengenalimu.
Sebulan yang lalu, sebelum kamu berangkat ke Singapura, kamu betul- betul berbeda. Kamu memang tampan dan selalu rapi, tapi ketampananmu seolah tersalut oleh sayunya wajahmu, kusamnya kulitmu dan redup matamu. Rupanya, pengobatanmu berhasil, setidaknya ada sedikit kemajuan pada dirimu. Aku ikut bersyukur, kini kamu telah berubah dan lebih sehat.
Dalam mobil, kamu tampak penuh semangat, ijinkan aku membelai rambutmu yang tersisir rapi itu, ijinkan aku dapat melihatmnu seperti ini terus, ijinkan aku untuk tidak terus merasa was- was jika tak ada kabar darimu, dan ijinkan aku untuk mendapat senyum terindahmu, setidaknya untuk malam ini.
Apakah kunjunganmu ke negeri jiran itu juga memberimu kemampuan untuk membaca pikiranku? Sungguh! Senyuman dan tatapan yang baru saja kamu berikan itu telah memberi geletar kehangatan dalam hatiku. Hei! Jangan terus menatapku seperti itu! Senangkah kamu melihat mukaku memerah karena malu? Tolonglah! Jangan senyumi aku sedemikian rupa. Jangan buat aku takut kehilangan senyummu itu. Senyum yang membuatku bersyukur mengenalmu.
Mobil yang kita tumpangi melaju di jalan yang sepertinya ku kenal. Apa kita akan pergi ke tempat kita mengucapakan janji untuk saling menyayangi dulu? Tempat dimana aku berjanji untuk membuatmu nyaman di dunia yang telah menyakitimu, dan kamu pun berjanji untuk membuatku merasa dibutuhkan. Sepertinya. Kamu memang bertujuan ke sana.
Sungguh bukan mimpiku untuk menjadi kekasihmu, menjadi penghiburmu saat semua orang jauh darimu. Ingatkah kamu? Dalam pemunculanmu yang pertama, kamu sungguh membuatku sebal. Ingatkah? Siapa yang menempelkan permen karet ke dalam tasmu? Itu aku, karena kamu yang lebih dulu menjahili aku. Tetapi pembawaan mu yang begitu berbeda membuatku mengubah penilaian terhadapmu. Antahlah apa yang membuatku menjadi seperti itu, yang jelas kini kita, aku dan kamu, menjadi bahagia dalam hubungan ini.
Kamu menatapku lagi. Ada apa? Mengapa kini begitu berbeda? Ijinkan aku membelaimu. Hhh…mengapa semakin dekat tujuan kita semakin redup matamu? Semakin lemah gerakanmu? Entah, aku begitu ingin melindungimu. Aku takut kehilanganmu! Sudahlah! Jangan tatap aku begitu dalam seperti itu. Simpanlah energimu untuk dirimu sendiri. Badanmu hangat! Biarlah kumatikan AC mobilmu. Matamu itu seakan- akan takut. Kanu seperti minta perlindungan dariku. Tenanglah aku di sampingmu.
Kita hamper sampai. Sedikit lagi menanjak dan kita sampai di lembah kenangan itu. Sekarang kamu pererat genggamanmu. Kenapa? Aku di sini menemanimu.
Sekarang kita sampai. Hei! Kamu membukakan pintu untukku! Dasar bodoh! Aku ini bukan putrid raja yang harus kamu layani. Kini kamu membimbingku menuju lembah itu. Lembah dimana kita dapat menatap langit berbintang tanpa halangan. Langit dimana setiap impian manusia berbaur dalam kerlipnya sang lintang. Langit tempat harapan dan permohonan menuju. Langit malam bening berbintang tanpa awan itu kini sedang menanti harapan kita.
Baiklah kita duduk di sini, sungguh tempat yang tepat untuk memandang samudra cahaya di atas kita. Mengapa tatapanmu semakin sayu? Apa yang hendak kamu katakana kepadaku? Bukankah tadi pagi kamu berjanji untuk bercerita? Tak apa, jujurlah, aku siap.
Sekarang kamu malah menggenggam tanganku. Astaga! Kamu sakit! Badanmu sangat panas. Lebih baik kita pulang sekarang. Tidak, kamu harus pulang, bukan, kita harus pulang. Argh! Aku kalut! Kamu tidak bisa membiarkan badanmu lemah sedikit saja. Apa? Baiklah, hanya setengah jam kita di sini, setelah itu kita harus pulang, dan demi dirimu, biarlah aku yang menyetir.
Suaramu sangat lemah, berbaringlah di pangkuanku. Bicaralah, karena sebentar lagi kita harus pulang. Tidak! Kita kerumah sakit saja. Keadaanmu sangat mengkhawatirkan. Aku membelai kepalame, suhu tubuhmu tinggi.
Baiklah, aku mendengarkan. Katakana apa yang hendak kamu katakan! Apa?! Benarkah?? O tidak! Kamu hanya bercanda! Tidak! Mana mungkin?!
Jadi selama ini kamu ke Singapura tidak melakukan apapun? Kamu tidak melakukan terapi seperti yang kamu katakana padaku? Hei, terapi itu sangat penting untuk kelangsungan hiduomu. Ck…
Hei! Apa yang terjadi? O tidak! Jangan bercanda! Mengapa kamu tertidur dengan napasmu terengah- engah! Jangan tidur! Aku meminta penjelasanmu itu! Tolong jangan membuatku takut! Mengapa kamu tidak membuka matamu?
Syukurlah kamu telah membuka matamu. Ya, aku masih di sini, aku akan membawau ke rumah sakit. Apa? Bicarakah! Jangan ucapkan kata oeroisahan itu! Kamu tidak akan kemana- mana!
Ayolah, jangan terpejam lagi! Jangan tidur nyenyak seperti itu. Bangunlah. Tidak! Jangan buat aku menitikkan air mata. Bernafaslah! Bangun! Kau bisa! Ingat, kita belum selesai dengan itu! Kau sedah berjanji untuk menyelesaikannya dulu.Menyelesaikan pertarunganmu dengan penyakitmu! Kamu bisa! Kamu berjanji untuk memenangkannya, dimana janjimu? Dan jangan kamu lupakan, kamu berjanji untuk tidak membuatku menangisimu, tapi kini aku menangis untukmu.
***
Tempat yang sama, di mana kita berjanji dulu, di tempat kita berpisah kini. Seribu janji yang kita buat dibawah naungan bintang, teringkar juga, di sini, saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar