Entah kenapa aku selalu bermusuhan dengan alarm, entah itu aku salah menyetel waktu alarmku, atau salah memilih waktu a.m atau p.m. Alarm putih menyebalkanku itu memang alarm digital yang berformat 12 jam. Alarm yang berbentuk bola kecil putih bersayap itu dibelikan ayahku sebulan yang lalu. Itu juga kerena didesak ibu yang sudah bosan menghabiskan uang belanjanya untuk membelikanku alarm baru seminggu sekali.
Soal kebiasaan tidurku itu memang sudah diluar batas. Pelor alias nempel molor kata teman- temanku. Pacarku sendiri lebih suka memakai istilah kebo. Entah kenapa aku selalu mudah tertidur, dimanapun, kapanpun. Jangan ajak aku duduk lama atau diam mendengarkanmu berbicara. Mungkin baru sepuluh menit kau mengoceh, aku sudah berkelana duluan ke alam mimpi.
Tak terhitung berapa kali aku merusak alarmku karena mereka berbunyi kurang nyaring. Padahal, ibu selalu cermat memilih alarm yang paling nyaring bunyinya dalam deretan alarm- alarm di toko jam. Alarm baruku selalu berbunyi nyaring, tapi tak cukup nyaring untuk telinga lebarku.
Oke, aku memang sudah berusaha tak bergantung pada alarmku, antara lain mengubah pola tidurku. Jangan harap meneleponku pada pukul delapan malam. Aku sudah tertidur demi mengejar target bangun pagi esok harinya. Tapi sama saja. Jam biologisku selalu membangunkanku tepat pukul setengah tujuh pagi. Berarti aku hanya punya waktu setengah jam sebelum bel sekolah berbunyi.
Aku dilahirkan untuk bergantung pada alarm, meskipun alarm seringkali mengkhianatiku.
Hari ini, alarmku sedang berbaik hati, ia berbunyi cukup nyaring untuk membangunkanku. Aku membuka mata dan menatap angka 5.45 a.m yang menyala riang di layar bola putihku. Aku bangun. Alarmku sedang berbaik hati, mengapa aku tak membalas kebaikannya?
Aku meraih handuk yang kusampirkan di depan kamar mandi. Bernyanyi semangat menyalakan shower dan meraih shampoo. Aku jarang sekali keramas pagi hari karena kebiasaanku itu. Buatku, ini adalah kompensasi buat si alarm putih karena berhasil membangunkanku. Uh, segarnya. Sabun pun tak lupa kuusapkan dan dengan hati riang kubersihkan seluruh tubuhku . Hari ini aku mandi dengan santai. Berkat alarmku. Aku menggosokkan sikat gigi berpasta ke deretan gigiku sambil memikirkan prospek cerah datang tepat waktu ke sekolah hari ini. Aku merasakan perasaan menyenangkan tentang hari ini. Aku bersyukur tidak jadi menaruh alarmku di lubang kloset kemarin karena gagal membangunkanku.
Seragam kemeja putih dengan rok berlipit kotak- kotak merahku kupakai dengan rapi dan kusematkan pin di ujung kemejaku. Kupakai kaos kaki putih identitas dan sepatu hitam yang harus dipakai sebagai kelengkapan seragam sekolahku. Sekali lagi, kulirik alarmku, tanpa dia, aku takkan berpakaian serapi ini.
Hmm…bahkan dari kamarku pun bau nasi goreng lezat buatan ibu tajam tercium. Rasanya sudah berabad- abad aku tak lagi mencium aroma ini. Aku bergegas turun. Di meja makan, ayah sedang asyik mengunyah sarapannya sembari mendengarkan adikku berceloteh tentang apa yang akan dilakukannya hari ini. Sungguh potret keluarga yang harmonis. Dari balik dapur, ibu yang sedang menyiapkan bekal adikku menegurku, “Tumben Lan, bangun pagi…Alarmmu rusak?”
“Iya bu, rusak, hehehe….Bunyinya jadi selirih gledek”
Ibuku memang suka bercanda.
“Tuh, sarapannya dimakan dulu, keburu dingin”
Aku menyuap nasi goreng dengan suwiran ayam buatan ibuku. Rasanya enak, sungguh klop jika dipadu dengan susu coklat panas. Aaah….surga dunia! Inilah hidup, teman!
Selesai sarapan, aku segera berpamitan pada ayah dan ibuku yang masih duduk santai di meja makan. Huh, enak sekali jadi ayah, beliau masuk kerja pukul delapan, sedangkan aku harus kelabakan tiap pagi gara- gara oknum guru yang rajin membunyikan bel tiap pukul tujuh tepat. Wahai, bel sekolah, contohlah saudaramu, alarm putih yang menoleransi setiap keterlambatanku dengan menyediakan tombol snooze!
Serta merta aku memasukan kunci dan menstarter mio merahku. Aku memacunya dalam kecepatan duapuluh kilometer per jam, suatu hal yang jarang kulakukan. Saat- saat sebelum alarm putihku datang, motor mioku selalu kupaksa melaju dalam kecepatan minimal enampuluh kilometer per jam. Dengana kecepatan itu, aku bisa melihat keadaan sekitar. Kota Jogja pagi hari, sungguh mengasyikkan. Aku menikmati angin pagi yang membelai wajahku, sambil menikmati hiruk- pikuk lalu- lintas pagi hari. Bocah- bocah berseragam merah- putih sibuk mengayuh sepeda berdampingan dengan tukang bubur ayam atau soto dan gerobaknya di lajur kiri. Sebelahnya lebih ke kanan, di dominasi oleh motor dan mobil yang berebut lajur, salip- menyalip. Aku sendiri lebih menikmati posisiku di lajur kiri, berdampingan dengan sepeda.
Lamunanku tersentak, lampu merah. Kulirik alat penghitung mundur yang menyala arogan di atasku, seratus delapanpuluh detik. Oh, tidak! Aku terjebak di persimpangan paling ruwet di Jogja. Persimpangan yang mengharuskan pengendara menunggu setidaknya dua kali lampu merah baru dapat berbelok atau lurus ke ruas jalan berikutnya. Aku memaki. Posisiku jauh dari mulut persimpangan, sementara di depanku, puluhan, ah, tidak, jutaan kendaraan berhenti menanti giliran melaju. Oh, Tuhaaaaan….Mengapa Engkau ijinkan aku melewati rute yang ini? Aku salah memilih rute karena melamun.
Aku menghitung mundur.
Tiga…Dua…Satu…
Lampu hijau.
Aku memacu motorku tak sabar. Jalanan mulai panas, sementara mobil di depanku ini tidak melaju juga. Kubunyikan klaksonku berkali- kali, tak ada yang terjadi. Kini malah mobil itu mengepulkan asap knalpot tepat ke mukaku. Mobil butuuuuuut! Makiku dalam hati. Lampu hijau tinggal sepuluh detik lagi, sementara antrean tak juga berkurang.
Sembilan detik, aku maju beberapa meter.
Delapan detik, bunyi klakson makin riuh terdengar.
Tujuh detik, kini beberapa orang mulai berteriak.
Enam detik, ujung persimpangan mulai terlihat.
Dua detik, kendaraan mulai lancar, aku memacu motorku.
Satu detik dan lampu kuning, jangan merah duluuu! Oh, tidak, aku terlambat. Polisi berkumis baplang di persimpangan itu meliriku tajam. “Jangan coba- coba!”, mungkin itu yang hendak dikatakannya ketika ban depan motorku menjamah pinggir zebra cross dengan cantiknya. Aku menggerutu.
Enampuluh detik menjelang lampu hijau. Kulihat jam tanganku untuk memastikan berapa sisa waktu yang kupunyai untuk tiba di sekolah dengan selamat dan sukses. Lima menit menjelang pukul tujuh, itu yang ditunjukkan jam tanganku. Aku panik, tak sabar kuputar- putar gas motor sambil tetap mengerem. Aha! Lampu hijau!
Aku tak mau membuang waktu. Motorku kembali ke kebiasaan awalnya, melaju dengan kecepatan enampuluh kilometer per jam. Tapi rasanya itu sia- sia, sebab sekolahku masih limabelas kilometer jauhnya. Ooooooh…terkutuklah lampu merah dan kemacetan! Juga kepada lamunan yang membuaiku ke dalam euphoria bangun pagi!
***
Gerbang sekolahku mulai terlihat. Tembok tebalnya yang kokoh peninggalan Belanda garang menyergapku. Pintu kayu utama bercat biru itu masih terbuka separo. Kudorong dengan ban depan motorku dan menuju ke gerbang ke dua, gerbang besi hijau, gerbang yang penghabisan. Namun apa daya, gerbang hijau telah tertutup dan satpam sekolah tersenyum bosan padaku.
Alarmku, kini aku yang mengkhianatimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar