Minggu, 27 Desember 2009

yeah...menjajah meja kerja mama dan ditemani sekaleng softdrink...postingan tengah malam ini dibuat atas asas gak ada kerjaan, sementara itu, di sebelah, adek perempuan yang baru berumur 11 tahun tiduran sambil nonton titanic, dan saya mesti bangun pagi besok buat ngambil kartu ujian...what a perfect night!

hari ini, dua hari setelah natal, dan saya melewatinya benar2 tanpa impresi...yah, ritual biasa bangun pagi, ke gereja saya lakukan sama seperti tahun2 sebelumnya...bahkan acara2 yang melibatkan keluarga pun terkesan lebih garing. satu2nya acara yang membuat saya bersemangat adalah acara foto bareng keluarga yang hanya terdiri dari mama, adek dan saya sendiri...lalu kemana si kepala keluarga??oh, kepala keluarga sedang berfoto bersama para penghuni surga...God bless him!

oke, ketika saya berangkat ke gereja, gereja penuh sesak, bahkan tenda yang disediakan pun tak cukup menampung jemaat yang meluber...hmm, inilah potret jemaat masa kini, jemaat napas, natal dan paskah..wajah2 baru bermunculan dan mereka memenuhi tempat yang di sediakan dan saya pun kebagian duduk di luar...hmm, mama masuk ke dalam karena ia bertugas sebagai pemimpin pujian...

sound system yang tersedia bagi kebutuhan jemaat di tenda kurang mantap dan udara panas...benar2 memanjakan mata yang kurang tidur ini. lama saya malah lebih memperhatikan tingkah laku jemaat daripada layar yang menampilkan prosesi ibadah di dalam gedung gereja (seraya menyalahkan sound system yang membuat saya tidak memberikan perhatian pada pendeta). Banyak sekali keluarga jemaat dari luar kota yang beribadah bersama, juga para remaja yang pada minggu biasa tidak terlihat karena sekolah di luar kota, kini memanfaatkan moment ibadah natal sebagai ajang reuni...

selesai masalah ibadah, yaah, karena tak ada lagi yang bisa saya ceritakan kecuali banyaknya peserta pembabtisan tahun ini yang mencapai, umm, kata mama sih enambelas orang...yah saya memang sedang getol menyalahkan televisi dan sound yang kelewat kecil...

pulang dan sepi...yah sepi...benar2 waktu yang tepat bersama keluarga, tapi, suasana sepi hanya berlangsung satu jam saja...berapa saat kemudian datang orang2 bertandang mengucapkan selamat natal, mengobrol dan tertawa2, makan siang lalu pamit pulang. handphone tak hentinya berdering dari orang2 terkasih, mengucapkan selamat natal dan berbagi perhatian. sebagai teman telinga, televisi dinyalakan...mendengar liputan natal sambil berkencan dengan waktu cukup efektif menghabiskan jatah 24jam tanggal 25desember itu...

saat itu saya mulai berpikir...apakah esensi natal yang sesungguhnya...sejak dulu selalu saja ditekankan...natal adalah momen berbagi kasih, tapi menurut saya bukan itu...berbagi kasih memang sendi2 utama iman nasrani...lalu apa??
pesta? jelas tidak...
ibadah?berkumpul bersama keluarga?momen untuk bertobat?hmm...saya rasa itu terlalu dangkal buat event kelahiran san Juru Selamat atau natal ini...karena semua itu bisa kita lakukan di luar event natal

lalu saya teringat ucapan seorang kakak kelas yang bilang bahwa Natal ini bukanlah ulang tahun kita, lalu kenapa malah kita yang berpesta?kenapa kita yang memohon ini itu?kenapa malah saling memberi ucapan selamat??lah yang ulang tahun siapa juga...

bukannya semua itu terlarang, tapi memang sebaiknya kita tidak terlalu tenggelam dalam euphoria dan makna natal yang berlebihan. mungkin sebaiknya jika natal kita jadikan motivasi dan batu loncatan untuk lebih dekat dengan Dia yang kelahirannya kita rayakan saban 25 desember...

selamat Natal

Sabtu, 12 Desember 2009

jangan panggil dy pengamen

Hmm....saat ini gw lagi dalam perjalanan menuju gombong pake kereta ekonomi...sejak sma d jogja, gw emang lebih seneng pulang naik kereta ekonomi daripada travel, jujur ajj, kereta emang lebih murah...tapi ada juga alesan lain, yaitu kereta ekonomi selalu ngasih warna yang berbeda...bukan karena dengan naik kereta gw berubah jd pelangi...bukan...tapi di dalem kereta selalu ada yg bisa gw pelajari...kereta ekonomi bwt gw adalah laboratorium sosial yg nyaman selain bis jalur 2 dan lampu merah...
Sejak gw make sarana kereta 3 taun lalu...ada 2 sesi pengamen yg selalu buat gw mikir...yaitu pengamen cilik sekitar 10 taunan yg ngamen setelah stasiun wates dan 2 pengamen waria yang selalu nyanyi 'bla...bla...ewer...ewer' yg ngamen menjelang stasiun purworejo...tapi yg paling menarik bwt gw adalah pengamen cilik...tiap gw naik kereta, gw pasti ketemu dia...
Dia, sebut saja mawar...haha...bukan...pan
ggil aja dy pengamen cilik menye2 wannabe adalah sosok bocah cwo umur kira2 10 taunan...dy selalu bawa ukulele dan ngamen menjelang stasiun purworejo...lagu yg dia nyanyikan selalu merupakan lagu2 yg dianggap oleh masyarakat yg menganggap diri mereka 'berselera' lagu menye2 macam st12, kangen band dan spesies macam itu...yg jadi pikiran gw adalah...
1. Dy sekolah gak y?gw mikir, uang hasil ngamen dy t dipake bwt apa ajj...sepengliatan gw, dy ngamen d kereta, taruhlah 1 gerbong isi 120 org, rata2 org ngasih dy seribu, truz belom selama perjalanan dy ngamen minimal 2kali. Penghasilan dy dari 1 gerbong kaliin jumlah gerbong kereta yaitu 12...ckck...dy masih sempet ngecet rambutnya merah...
2. Anak sekecil it udah nyanyi lagu cinta2an macam 'huga...huga...blabla...MENCINTAIMU...huwoo' atau 'eugh...hoosh...KHIANATI CINTAKU' bayangpun...anak sekecil it yg harusnya berucap wajar dan berpikir wajar seusianya udah nyanyi yg begituan...coba kalian waktu umur 10 taun...dengernya lagu apa? Apa dy ngerti artinya,,,apa dy tau maknanya...apa yg ada d otak dy wkt mengucapkan kata2 it...secara gak langsung, lagu2 begituan jg lambat laun meninggalkan impresi k otak PCM2W...buat dy dewasa sebelum waktunya...sebelum dy bisa mengkaji dan merenungi maknanya...gw rasa ini yg nyebabin generasi muda indo mengalami penurunan kualitas dari segi emosi dan rohani...
3. Gw bingung mau ngasih dy duit ato ga...kalo ngasih...gw takut ngajarin dy betah jd pengamen karena ngrasa prospek menggeluti asah suara dalam kereta sangat menjanjikan...gw pengen dy hidup normal layaknya anak seusianya...tapi kalo ga ngasih, gw kasian juga...dy masih kecil...dy ga pantes ngalamin hidup sekeras it...

Hmm...mungkin gw terlalu mikirin apa yg bukan urusan gw...tapi hal it terjadi tepat di depan mata gw dan berlangsung selama yaa...3 taunanlah...sejak gw make alat transpor kereta ekonomi yang berlabel logawa tujuan jember-purwokerto...gw ga bisa bayangin kalo it menimpa adek gw yg bru ngrasain berumur 10 taun...

Arrgh...PCM2W...masa depan lo masih panjang nak!

saatnya melihat kembali sejarah

Sejarah adalah masa lalu, dan masa lalu merupakan tuntunan dalam

melangkah menuju masa depan. Sejarah bukan hanya arsip lawas telantar

yang digunakan untuk mengisi jam pelajaran dua jam seminggu untuk anak

sekolah, ataupun deretan tahun dan foto yang terangkum dalam buku

untuk menambah koleksi perpustakaan. Namun sejarah adalah warisan

kekayaan nenek moyang tentang keberhasilan mereka dalam melewati

rangkaian fase kehidupan.

Indonesia memiliki sejarah. Sudah beratus tahun negara ini digembleng

oleh waktu. Seakan kenyang sudah Indonesia akan pengalaman pahit manis

kehidupan. Semua itu terangkum dalam catatan yang bernama sejarah.

Ribuan catatan dan kisah tentang keberhasilan Indonesia mengalahkan

rintangan waktu sudah dibuat. Kenangan- kenangan pahit akan penjajahan

maupun ingatan manis kejayaan nenek moyang kita di Majapahit dan

Sriwijaya seakan sudah melekat erat di otak kita sejak duduk di bangku

sekolah dasar. Namun, mengapa semua itu hanya sekedar tambahan ilmu

pengetahuan untuk mendongkrak nilai rapor? Tidak bisakah bangsa

Indonesia menjadikan sejarah sebagai bahan introspeksi dalam mengatasi

carut marut masalah kompleks negara ini?

Seakan sejarah sudah dilupakan. Begitulah cerminan bangsa kita saat

ini. Pernahkah kita berpikir, mengapa kerajaan masa lampau dapat

mencapai puncak kejayaanya, disegani oleh bangsa- bangsa lain karena

memiliki komoditas yang sangat berharga pada waktu itu, yaitu rempah-

rempah? Padahal, jika kita lihat masa kini, bangsa Indonesia masih

memiliki cukup banyak komoditas berharga yang tak semua negara

mempunyainya. Cadangan minyak bumi, kayu- kayu berkualitas yang

tersebar di hampir seluruh wilayah Nusantara, kekayaan maritim dan

kebanggaan akan predikat negara agraris. Namun, semua itu dikeruk

justru oleh bangsa asing dan kita hanya bisa menonton, atau melawan?

Bahkan perlawanan pun hanya terasa sebagai formalitas karena seakan

pihak berwajib terkesan santai dalam mempertahankan asset negaranya.

Sejarah juga mencatat bahwa persatuan yang solid merupakan faktor

utama pergerakan perjuangan kemerdekaan secara nasional. Patut dicatat

bahwa Indonesia merebut sendiri kemerdekaannya sementara banyak negara

terjajah lain mendapatkan kemerdekaannya berkat belas kasih tangan

penjajah. Dapat disimpulkan bahwa persatuan merupakan kekuatan besar

yang mampu membawa Indonesia pada level yang lebih baik. Namun jika

melihat saat ini, tampaknya persatuan hanya didengung- dengungkan saat

Indonesia mengalami permasalahan dengan negeri tetangga menyangkut

soal asset- asetnya, atau pada saat terjadi bencana alam. Selain itu,

persatuan adalah milik daerah masing- masing. Otonomi yang didapat,

dimanfaatkan untuk membangun daerahnya sendiri, tanpa mau turut

menggandeng daerah lain yang masih tertinggal. Pemerintah pusat juga

turut memperparah keadaan dengan memusatkan pembangunan pada ‘pulau

sendiri’ dan ‘pulau tetangga’, sedangkan ‘pulau nun jauh di seberang

sana’ dibiarkan terengah- engah membangun sementara kekayaan alamnya

tiap tahun dimanfaatkan asing bekerjasama dengan pemerintah pusat.

Lainnya tak peduli, ini menyangkut hukum alam. Tak heran jika gerakan

separatis bermunculan memuntut pengakuan.Lalu dimanakah persatuan yang

dulu membawa Indonesia mencapai kemerdekaan?

Keinginan bangsa Indonesia mengulang kejayaan masa lampau sebenarnya

begitu kuat. Hal ini tercermin dalam perjuangan Indonesia mendapatkan

kembali arsip- arsip kuno dan artefak yang diam- diam beredar di

kalangan internasional. Perdagangan artefak berusaha digagalkan dengan

keras. Pengembalian benda- benda bersejarah terus diusahakan

pemerintah dari tangan- tangan asing. Kampanye- kampanye mengenai

kunjungan ke museum digerakan. Tapi gerakan hanyalah gerakan. Tanpa

disertai tindak lanjut. Bagaimana nasib artefak- artefak yang sempat

‘diculik’ ketika mendiami ‘rumah’ barunya sekarang? Beberapa museum

mengakui bahwa mereka terkendala dana untuk perawatan benda- benda

yang bernilai historis itu. Beberapa kali penulis berkunjung ke

museum- museum yang terletak di Yogyakarta. Benda- benda koleksi yang

terpajang terlihat seperti hanya display belaka.Tanpa keterangan dan

penataanya monoton. Diletakan di tengah ruangan, atau dipajang di rak

kaca, sungguh tidak menarik hati. Petugas museum pun hanya terkesan

sebagai penunjuk jalan, tanpa proaktif memberikan keterangan tambahan

tentang benda koleksi museum.

Pengakuan dunia terhadap Indonesia pernah kita rasakah lima dekade

lalu. Saat Indonesia yang baru saja lahir setelah tigaratus tahun

menderita penjajahan. Indonesia, di bawah Soekarno, dijuluki macan

Asia karena perjuangan keras dan sepak terjangnya dalam pembangunan

masyarakat dan pergolakannya di tengah pusaran dua ideologi besar

dunia. Keteguhan hatinya untuk memilih jalan tengah saat dunia terbagi

menjadi dua kubu raksasa, blok barat dan timur, serta kontribusinya

dalam menggalang konferensi- konferensi skala dunia merupakan prestasi

yang tidak kecil. Tak heran, nama Indonesia saat itu bukanlah nama

yang remeh temeh, tapi nama yang patut disegani dan diwaspadai.

Ingatlah, Indonesia dulu adalah macan Asia. Pendirian Soekarno dalam

mencanangkan program berdikari patut diacungi jempol. Meskipun tidak

seratus persen berhasil, namun program berdikari mampu sedikit banyak

membawa bangsa Indonesia menuju kemandirian. Jika melihat waktu

sekarang, amatlah bertolak belakang. Sungguh royal pihak asing

memberikan dana, bantuan, hibah, pinjaman, kredit dan sejenisnya, dan

kita menerima semua itu.

Menilik dari sejarah masa lampau, dan menengok masa kini, rasanya

sungguh bertolak belakang. Memang sejarah adalah keadaan yang telah

lewat, namun tujuan waktu berjalan bukankah untuk memberikan pada kita

kesempatan untuk menjadi lebih baik dari masa lalu, dengan asumsi kita

telah mempunyai pengalaman dari masa lalu untuk digunakan memperbaiki

masa kini dan menjadikan masa depan lebih baik. Bukan untuk menambah

pengalaman dan berhenti di situ saja, yang berarti kebanggaan akan

pengalaman itu merupakan kebanggaan semu karena tanpa tindak lanjut

nyata dari diri kita.

Pengabaian atas sejarah Indonesia seperti ini memang sudah menjadi

masalah mendasar yang kurang mendapat perhatian, namun penting untuk

dikaji secara mendalam. Sejarah Indonesia sedikit banyak turut

memberikan jawaban untuk memecahkan permasalahan yang sudah bercokol

dalam diri bangsa ini sekian lama. Sejarah Indonesia mengukir banyak

catatan gemilang di masa lampau dan kita bangga akan hal itu. Namun

jika kebanggaan berhenti sebagai kebanggaan semata, tanpa usaha yang

konkret untuk mengambil nilai- nilai positif dan menerapkannya dalam

semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, tampaknya sulit bagi

negara ini untuk bangkit dari keterpurukan dan meraih kembali kejayaan

masa lalu. Dulu, Indonesia adalah penguasa lautan. Dulu, Indonesia

adalah tanah pertanian yang kaya. Dulu, Indonesia adalah zamrud

khatulistiwa. Dulu, Indonesia adala macan Asia. Siapkah kita mengulang

semua itu?

ini kisahku: bagaimana denganmu?

Aku tahu kita berbeda. Bukan, bukan karena kamu atau aku bukan manusia. Bukan itu. Kita berbeda karena satu hal. Satu hal yang yang membuat kita takkan pernah sama. Meski begitu, apakah kamu sadar bahwa aku selalu berusaha menyamakan pandanganku denganmu?

Aku ingat waktu itu, di pinggir pantai yang tenang. Lagit berwarna oranye. Aku berdiri menunggu. Entah apa, yang jelas aku sedang menantikan sesuatu dan kamu menghampiriku. Kamu membawa serta anjingmu. Langit oranye dan anjing itu kuning.

Anjing kuningmu bernama Ivan.
Ivan menatapku, ia tak mengerti siapa aku.
Kamu tak mengenalkan Ivan padaku.
Ivan mengenalkan dirinya padaku.

Oke, aku tahu itu mustahil. Tapi aku dan kamu langsung merasa dekat dalam lima menit pertama perkenalan kita. Kamu menceritakan segala hal padaku, dan aku mendengarkan. Dalam lima menit, aku tahu segalanya tentangmu. Ivan tetap sebagai latar belakang.

Besok kita bertemu lagi di pantai yang sama. Kali ini kamu datang bertiga. Dirimu, Ivan dan hormon testosteron. Entahlah, baru kali ini aku melihat dirimu yang sebenarnya. Mungkin testosteron menguatkan eksistensimu. Ivan tetap sebagai latar belakang, tapi kini ia tersenyum padaku.

Tapi kamu diam.
Mukamu keras.
Kamu berpikir terlalu jauh.
Aku mendiamkanmu.
Aku bercengkrama dengan Ivan.

Langit tak lagi oranye, tapi hijau. Aku berdiri menunggu. Entah apa, yang jelas aku sedang menantikan sesuatu dan Ivan datang menghampiriku. Ivan membawa serta kamu. Kemudian dia langsung pergi. Langit hijau dan kamu ungu.

Kita semakin dekat.
Ivan tak lagi jadi latar belakang.
Hanya ada kita berdua.
Aku dan kamu.

Kita menjadi semakin dekat. Kamu mulai berani menemuiku di mana saja. Tak cuma di pantai, kamu menemuiku ketika aku sedang kuliah, makan siang, memasak, nonton, bahkan kamu juga menemuiku di toilet. Kita menjadi semakin dekat.

Hari ini kamu menemuiku di taman. Taman bunga dengan lebah- lebah yang terus menerus mendengung. Kamu membawa juga sahabat lamamu, testosteron.

Kita berbincang akrab. Kita berbincang tentang esensi kehidupan. Juga kesamaan karakter kita. Kala itu, langit berwarna putih.

Sampai lima jam kita berbincang dan aku baru menyadari sesuatu. Ivan tak muncul. Aku menanyakannya padamu dan kamu menjawab bahwa Ivan sudah tak ada. Kamu telah melemparnya ke laut ketika kita sedang berbincang di pantai. Ivan si anjing kuning sedang mengobrol bersama ikan badut di sela- sela karang.

Aku menanyakan padamu kronologis mengapa kamu tega melemparkan Ivan ke laut. Dan kamu berkata.

‘Aku sedang menemuimu, dan Ivan membutuhkanku. Aku tahu ia sedang menarik perhatianku, tapi aku mengacuhkannya. Kami bertengkar. Ivan bilang, ada ikan badut di sela- sela karang yang mempunyai lebih banyak waktu daripada aku. Dia benci diriku yang terus- menerus menemuimu. Dia tidak benci dirimu, tetapi aku. Aku marah dan kemudian, aku melemparkannya ke laut, biar dia senang.”

Aku senang mendengarnya.

***

Aku tahu kita berbeda. Bukan, bukan karena kamu atau aku bukan manusia. Bukan itu. Tetapi sudut pandang kita.

***

Aku sedang berdiri di pinggir pantai ketika kamu menemuiku. Kamu mengatakan bahwa kamu ingin dekat denganku. Aku sedang dipenuhi oleh esterogen maka aku menyambutmu. Kita menjadi dekat. Langit berwarna cokelat ketika kita berdekatan.

Kamu memegang tanganku.
Kamu memberikan bahumu.
Kamu membelikanku sebuah hubungan.
Kamu meracau!

Kita sedang berjalan- jalan di hutan ketika kamu menemukan sebuah lubang. Aku berpamitan untuk pulang lebih dulu dan kamu memutuskan untuk memasuki lubang itu.

Langit berwarna perak dan anjing itu kuning. Kamu menemukan seekor anjing dalam lubang itu dan kamu menamakannya Kinan. Kamu ingin membawanya pulang, tapi Kinan terlanjur terikat kencang di lubang itu. Tak bisa kemana- mana.

Esok paginya, kamu menunjukkan Kinan padaku
Kamu bersemangat.
Testosteron menguasaimu.

Kamu mencari segala macam cara untuk membawa Kinan pulang. Aku tak setuju. Kinan telah mempunyai rumahnya sendiri. Dia telah hidup di situ bertahun- tahun dan kamu hendak merenggut Kinan dari rumahnya. Tetapi kamu bilang, Kinan merasa tersiksa di lubang itu. Kamu hendak memberinya tempat yang nyaman. Kamu meminta bantuanku untuk membawa pulang Kinan dan aku menolak. Aku merasa Kinan sudah cukup bahagia di lubang itu.

Kamu berapi- api. Kamu membawa segala macam perkakas untuk membebaskan Kinan. Kamu membawa pisau, berbagai macam pisau, pisau lipat, pisau silet hingga pisau dapur. Tak cukup hanya itui, kamu juga membawa gergaji listrik dan alat berat. Tapi Kinan tak juga bisa dibebaskan. Aku merasa menang.

Kamu terpuruk.
Aku mendiamkanmu.
Kinan mengajakku berbincang.
Kamu sebagai latar belakang.

Kamu tak pernah menemuiku lagi, langit berwarna hitam dan airmataku juga hitam.Aku berdiri di pinggir pantai. Menatap jauh ke depan, memandang Ivan yang sedang bertelekan dengan ikan badut. Aku sedang berusaha meresapi sebuah pesan. Tadi pagi, ketika aku baru bangun tidur, aku menemukan sebuah pesan darimu. Pesan yang ditulis dengan tinta biru diatas kertas yang juga biru. Sebuah pesan yang mengatakan bahwa kamu sudah bercinta dengan Kinan.

***

Aku tahu kita berbeda. Bukan karena kamu atau aku bukan manusia. Bukan itu, tetapi karena kamu lelaki dan aku perempuan.

alarm

Entah kenapa aku selalu bermusuhan dengan alarm, entah itu aku salah menyetel waktu alarmku, atau salah memilih waktu a.m atau p.m. Alarm putih menyebalkanku itu memang alarm digital yang berformat 12 jam. Alarm yang berbentuk bola kecil putih bersayap itu dibelikan ayahku sebulan yang lalu. Itu juga kerena didesak ibu yang sudah bosan menghabiskan uang belanjanya untuk membelikanku alarm baru seminggu sekali.

Soal kebiasaan tidurku itu memang sudah diluar batas. Pelor alias nempel molor kata teman- temanku. Pacarku sendiri lebih suka memakai istilah kebo. Entah kenapa aku selalu mudah tertidur, dimanapun, kapanpun. Jangan ajak aku duduk lama atau diam mendengarkanmu berbicara. Mungkin baru sepuluh menit kau mengoceh, aku sudah berkelana duluan ke alam mimpi.

Tak terhitung berapa kali aku merusak alarmku karena mereka berbunyi kurang nyaring. Padahal, ibu selalu cermat memilih alarm yang paling nyaring bunyinya dalam deretan alarm- alarm di toko jam. Alarm baruku selalu berbunyi nyaring, tapi tak cukup nyaring untuk telinga lebarku.

Oke, aku memang sudah berusaha tak bergantung pada alarmku, antara lain mengubah pola tidurku. Jangan harap meneleponku pada pukul delapan malam. Aku sudah tertidur demi mengejar target bangun pagi esok harinya. Tapi sama saja. Jam biologisku selalu membangunkanku tepat pukul setengah tujuh pagi. Berarti aku hanya punya waktu setengah jam sebelum bel sekolah berbunyi.

Aku dilahirkan untuk bergantung pada alarm, meskipun alarm seringkali mengkhianatiku.

Hari ini, alarmku sedang berbaik hati, ia berbunyi cukup nyaring untuk membangunkanku. Aku membuka mata dan menatap angka 5.45 a.m yang menyala riang di layar bola putihku. Aku bangun. Alarmku sedang berbaik hati, mengapa aku tak membalas kebaikannya?

Aku meraih handuk yang kusampirkan di depan kamar mandi. Bernyanyi semangat menyalakan shower dan meraih shampoo. Aku jarang sekali keramas pagi hari karena kebiasaanku itu. Buatku, ini adalah kompensasi buat si alarm putih karena berhasil membangunkanku. Uh, segarnya. Sabun pun tak lupa kuusapkan dan dengan hati riang kubersihkan seluruh tubuhku . Hari ini aku mandi dengan santai. Berkat alarmku. Aku menggosokkan sikat gigi berpasta ke deretan gigiku sambil memikirkan prospek cerah datang tepat waktu ke sekolah hari ini. Aku merasakan perasaan menyenangkan tentang hari ini. Aku bersyukur tidak jadi menaruh alarmku di lubang kloset kemarin karena gagal membangunkanku.

Seragam kemeja putih dengan rok berlipit kotak- kotak merahku kupakai dengan rapi dan kusematkan pin di ujung kemejaku. Kupakai kaos kaki putih identitas dan sepatu hitam yang harus dipakai sebagai kelengkapan seragam sekolahku. Sekali lagi, kulirik alarmku, tanpa dia, aku takkan berpakaian serapi ini.

Hmm…bahkan dari kamarku pun bau nasi goreng lezat buatan ibu tajam tercium. Rasanya sudah berabad- abad aku tak lagi mencium aroma ini. Aku bergegas turun. Di meja makan, ayah sedang asyik mengunyah sarapannya sembari mendengarkan adikku berceloteh tentang apa yang akan dilakukannya hari ini. Sungguh potret keluarga yang harmonis. Dari balik dapur, ibu yang sedang menyiapkan bekal adikku menegurku, “Tumben Lan, bangun pagi…Alarmmu rusak?”
“Iya bu, rusak, hehehe….Bunyinya jadi selirih gledek”
Ibuku memang suka bercanda.
“Tuh, sarapannya dimakan dulu, keburu dingin”
Aku menyuap nasi goreng dengan suwiran ayam buatan ibuku. Rasanya enak, sungguh klop jika dipadu dengan susu coklat panas. Aaah….surga dunia! Inilah hidup, teman!

Selesai sarapan, aku segera berpamitan pada ayah dan ibuku yang masih duduk santai di meja makan. Huh, enak sekali jadi ayah, beliau masuk kerja pukul delapan, sedangkan aku harus kelabakan tiap pagi gara- gara oknum guru yang rajin membunyikan bel tiap pukul tujuh tepat. Wahai, bel sekolah, contohlah saudaramu, alarm putih yang menoleransi setiap keterlambatanku dengan menyediakan tombol snooze!

Serta merta aku memasukan kunci dan menstarter mio merahku. Aku memacunya dalam kecepatan duapuluh kilometer per jam, suatu hal yang jarang kulakukan. Saat- saat sebelum alarm putihku datang, motor mioku selalu kupaksa melaju dalam kecepatan minimal enampuluh kilometer per jam. Dengana kecepatan itu, aku bisa melihat keadaan sekitar. Kota Jogja pagi hari, sungguh mengasyikkan. Aku menikmati angin pagi yang membelai wajahku, sambil menikmati hiruk- pikuk lalu- lintas pagi hari. Bocah- bocah berseragam merah- putih sibuk mengayuh sepeda berdampingan dengan tukang bubur ayam atau soto dan gerobaknya di lajur kiri. Sebelahnya lebih ke kanan, di dominasi oleh motor dan mobil yang berebut lajur, salip- menyalip. Aku sendiri lebih menikmati posisiku di lajur kiri, berdampingan dengan sepeda.

Lamunanku tersentak, lampu merah. Kulirik alat penghitung mundur yang menyala arogan di atasku, seratus delapanpuluh detik. Oh, tidak! Aku terjebak di persimpangan paling ruwet di Jogja. Persimpangan yang mengharuskan pengendara menunggu setidaknya dua kali lampu merah baru dapat berbelok atau lurus ke ruas jalan berikutnya. Aku memaki. Posisiku jauh dari mulut persimpangan, sementara di depanku, puluhan, ah, tidak, jutaan kendaraan berhenti menanti giliran melaju. Oh, Tuhaaaaan….Mengapa Engkau ijinkan aku melewati rute yang ini? Aku salah memilih rute karena melamun.
Aku menghitung mundur.
Tiga…Dua…Satu…
Lampu hijau.
Aku memacu motorku tak sabar. Jalanan mulai panas, sementara mobil di depanku ini tidak melaju juga. Kubunyikan klaksonku berkali- kali, tak ada yang terjadi. Kini malah mobil itu mengepulkan asap knalpot tepat ke mukaku. Mobil butuuuuuut! Makiku dalam hati. Lampu hijau tinggal sepuluh detik lagi, sementara antrean tak juga berkurang.
Sembilan detik, aku maju beberapa meter.
Delapan detik, bunyi klakson makin riuh terdengar.
Tujuh detik, kini beberapa orang mulai berteriak.
Enam detik, ujung persimpangan mulai terlihat.
Dua detik, kendaraan mulai lancar, aku memacu motorku.
Satu detik dan lampu kuning, jangan merah duluuu! Oh, tidak, aku terlambat. Polisi berkumis baplang di persimpangan itu meliriku tajam. “Jangan coba- coba!”, mungkin itu yang hendak dikatakannya ketika ban depan motorku menjamah pinggir zebra cross dengan cantiknya. Aku menggerutu.

Enampuluh detik menjelang lampu hijau. Kulihat jam tanganku untuk memastikan berapa sisa waktu yang kupunyai untuk tiba di sekolah dengan selamat dan sukses. Lima menit menjelang pukul tujuh, itu yang ditunjukkan jam tanganku. Aku panik, tak sabar kuputar- putar gas motor sambil tetap mengerem. Aha! Lampu hijau!

Aku tak mau membuang waktu. Motorku kembali ke kebiasaan awalnya, melaju dengan kecepatan enampuluh kilometer per jam. Tapi rasanya itu sia- sia, sebab sekolahku masih limabelas kilometer jauhnya. Ooooooh…terkutuklah lampu merah dan kemacetan! Juga kepada lamunan yang membuaiku ke dalam euphoria bangun pagi!
***

Gerbang sekolahku mulai terlihat. Tembok tebalnya yang kokoh peninggalan Belanda garang menyergapku. Pintu kayu utama bercat biru itu masih terbuka separo. Kudorong dengan ban depan motorku dan menuju ke gerbang ke dua, gerbang besi hijau, gerbang yang penghabisan. Namun apa daya, gerbang hijau telah tertutup dan satpam sekolah tersenyum bosan padaku.
Alarmku, kini aku yang mengkhianatimu.

ingkar

Hari ini, kamu datang dengan penuh kejutan. Aku sampai kaget melihatmu. Tak biasanya kamu datang tepat waktu. Maaf, bukankah ini realita? Kau sering datang terlambat jika menjemputku. Tapi, tak usah permasalahkan, bukankah ini adalah sebuah perubahan yang bagus. Penampilanmu juga jauh lebih rapi. Hei! Bukankanh selama ini kau memang rapi? Tunggu dulu, tapi memang kamu jauh lebih tampan malam ini. Kemeja hitam di tubuhmu sungguh membuatmu sangat tampan. Sebentar, kamu juga memangkas rambutmu. Apa itu? Bukankah itu mobilmu? Hebat! Tampak seperti baru. Kamu mencucinya bersih- bersih.
Sekarang kamu berjalan mendekatiku. Wangi tubuhmu tercium begitu segar. Apakah itu parfum yang pernah kuberikan untukmu? Ahh! Benar! Aku mengenalinya. Oh, astaga! Kamu benar- benar berubah malam ini. Itukah janji yang kamu katakana dulu sebelum berangkat ke Singapura sebulan yang lalu? Kejutan yang kamu sebut akan membuatku terkejut? Kalau iya, kamu berhasil! Aku sampai tak mengenalimu.
Sebulan yang lalu, sebelum kamu berangkat ke Singapura, kamu betul- betul berbeda. Kamu memang tampan dan selalu rapi, tapi ketampananmu seolah tersalut oleh sayunya wajahmu, kusamnya kulitmu dan redup matamu. Rupanya, pengobatanmu berhasil, setidaknya ada sedikit kemajuan pada dirimu. Aku ikut bersyukur, kini kamu telah berubah dan lebih sehat.
Dalam mobil, kamu tampak penuh semangat, ijinkan aku membelai rambutmu yang tersisir rapi itu, ijinkan aku dapat melihatmnu seperti ini terus, ijinkan aku untuk tidak terus merasa was- was jika tak ada kabar darimu, dan ijinkan aku untuk mendapat senyum terindahmu, setidaknya untuk malam ini.
Apakah kunjunganmu ke negeri jiran itu juga memberimu kemampuan untuk membaca pikiranku? Sungguh! Senyuman dan tatapan yang baru saja kamu berikan itu telah memberi geletar kehangatan dalam hatiku. Hei! Jangan terus menatapku seperti itu! Senangkah kamu melihat mukaku memerah karena malu? Tolonglah! Jangan senyumi aku sedemikian rupa. Jangan buat aku takut kehilangan senyummu itu. Senyum yang membuatku bersyukur mengenalmu.
Mobil yang kita tumpangi melaju di jalan yang sepertinya ku kenal. Apa kita akan pergi ke tempat kita mengucapakan janji untuk saling menyayangi dulu? Tempat dimana aku berjanji untuk membuatmu nyaman di dunia yang telah menyakitimu, dan kamu pun berjanji untuk membuatku merasa dibutuhkan. Sepertinya. Kamu memang bertujuan ke sana.
Sungguh bukan mimpiku untuk menjadi kekasihmu, menjadi penghiburmu saat semua orang jauh darimu. Ingatkah kamu? Dalam pemunculanmu yang pertama, kamu sungguh membuatku sebal. Ingatkah? Siapa yang menempelkan permen karet ke dalam tasmu? Itu aku, karena kamu yang lebih dulu menjahili aku. Tetapi pembawaan mu yang begitu berbeda membuatku mengubah penilaian terhadapmu. Antahlah apa yang membuatku menjadi seperti itu, yang jelas kini kita, aku dan kamu, menjadi bahagia dalam hubungan ini.
Kamu menatapku lagi. Ada apa? Mengapa kini begitu berbeda? Ijinkan aku membelaimu. Hhh…mengapa semakin dekat tujuan kita semakin redup matamu? Semakin lemah gerakanmu? Entah, aku begitu ingin melindungimu. Aku takut kehilanganmu! Sudahlah! Jangan tatap aku begitu dalam seperti itu. Simpanlah energimu untuk dirimu sendiri. Badanmu hangat! Biarlah kumatikan AC mobilmu. Matamu itu seakan- akan takut. Kanu seperti minta perlindungan dariku. Tenanglah aku di sampingmu.
Kita hamper sampai. Sedikit lagi menanjak dan kita sampai di lembah kenangan itu. Sekarang kamu pererat genggamanmu. Kenapa? Aku di sini menemanimu.
Sekarang kita sampai. Hei! Kamu membukakan pintu untukku! Dasar bodoh! Aku ini bukan putrid raja yang harus kamu layani. Kini kamu membimbingku menuju lembah itu. Lembah dimana kita dapat menatap langit berbintang tanpa halangan. Langit dimana setiap impian manusia berbaur dalam kerlipnya sang lintang. Langit tempat harapan dan permohonan menuju. Langit malam bening berbintang tanpa awan itu kini sedang menanti harapan kita.
Baiklah kita duduk di sini, sungguh tempat yang tepat untuk memandang samudra cahaya di atas kita. Mengapa tatapanmu semakin sayu? Apa yang hendak kamu katakana kepadaku? Bukankah tadi pagi kamu berjanji untuk bercerita? Tak apa, jujurlah, aku siap.
Sekarang kamu malah menggenggam tanganku. Astaga! Kamu sakit! Badanmu sangat panas. Lebih baik kita pulang sekarang. Tidak, kamu harus pulang, bukan, kita harus pulang. Argh! Aku kalut! Kamu tidak bisa membiarkan badanmu lemah sedikit saja. Apa? Baiklah, hanya setengah jam kita di sini, setelah itu kita harus pulang, dan demi dirimu, biarlah aku yang menyetir.
Suaramu sangat lemah, berbaringlah di pangkuanku. Bicaralah, karena sebentar lagi kita harus pulang. Tidak! Kita kerumah sakit saja. Keadaanmu sangat mengkhawatirkan. Aku membelai kepalame, suhu tubuhmu tinggi.
Baiklah, aku mendengarkan. Katakana apa yang hendak kamu katakan! Apa?! Benarkah?? O tidak! Kamu hanya bercanda! Tidak! Mana mungkin?!
Jadi selama ini kamu ke Singapura tidak melakukan apapun? Kamu tidak melakukan terapi seperti yang kamu katakana padaku? Hei, terapi itu sangat penting untuk kelangsungan hiduomu. Ck…
Hei! Apa yang terjadi? O tidak! Jangan bercanda! Mengapa kamu tertidur dengan napasmu terengah- engah! Jangan tidur! Aku meminta penjelasanmu itu! Tolong jangan membuatku takut! Mengapa kamu tidak membuka matamu?
Syukurlah kamu telah membuka matamu. Ya, aku masih di sini, aku akan membawau ke rumah sakit. Apa? Bicarakah! Jangan ucapkan kata oeroisahan itu! Kamu tidak akan kemana- mana!
Ayolah, jangan terpejam lagi! Jangan tidur nyenyak seperti itu. Bangunlah. Tidak! Jangan buat aku menitikkan air mata. Bernafaslah! Bangun! Kau bisa! Ingat, kita belum selesai dengan itu! Kau sedah berjanji untuk menyelesaikannya dulu.Menyelesaikan pertarunganmu dengan penyakitmu! Kamu bisa! Kamu berjanji untuk memenangkannya, dimana janjimu? Dan jangan kamu lupakan, kamu berjanji untuk tidak membuatku menangisimu, tapi kini aku menangis untukmu.
***

Tempat yang sama, di mana kita berjanji dulu, di tempat kita berpisah kini. Seribu janji yang kita buat dibawah naungan bintang, teringkar juga, di sini, saat ini.

lihat langit

lihat matahari...
dy mengundangmu untuk menggenggamnya...
dan kau berkata itu mustahil...

tidak kataku...

lihat matahari...
dy mengundangmu untuk menggenggamnya...
ulurkan tanganmu di depan matamu...
dan lihat matahari menghilang di genggamanmu...

kau buktikan itu...

kita kan genggam matahari itu bersama...

meraupnya dari langit...

dengan butiran awan menetes...

kita kan menggenggamnya bersama...

lihat matahari langit itu...
dia mengundang kita untuk menggenggamnya...

buaian selepas hujan

daun itu berbincang
ramai akrab setelah hujan
saling menyentuh, saling menggoda
mungkin tertawa

daun itu berbincang
tentang harapan yang nyaris pudar
tentang khayalan yang redup
dan tentang cahaya jingga sendyakala

daun itu berbincang
mengasihani diri akan guyuran hujan
basah, menetes berirama
menyanyikan lagu sendu tentang sinar matari

daun itu masih berbincang
bergunjing seru tiada habisnya
tentang buah yang minggu lalu ranum
tapi juga dipetik orang

daun itu berbincang, pohon mendengar
berlarut penuh metafora
menuturkan kisah cerita
tentang dunia

lalu dia terpaku

bintang memendam biru...
jauh terbenam...
tanpa hasutan, tanpa sentuhan...
acuh perlahan...

diam melayang mengenang...
haru baur tertumpah...
sesal kesal terburai...
sumpah menyumpah sudahi prasangka...

taut bertaut elok di angkasa...
berlalu sudah...
tinggalkan sekeping duka...
atau lega?

bintang memendam biru...
biru biru haru seru...
pekat dan kental...
seteru...

mengapa begini?

bisikan untuk jiwa

derap langkah berderap para kuda...
delapanbelas pasukan meraja lela...
ketak ketuk visor dan pelana...
mengutuki jiwa luka...

derap langkah berderap para kuda...
dulu dia bahagia...
sekarang terpuruk merana...
dikutuki jiwanya luka...

tiga dua duapuluh...
kuda dibuang jauh...
benteng telah runtuh...
pasukan melepas peluh...

duapuluh itu enam cinta...
cinta cinta pasukan kuda...
pasukan gila mengendali kuda...
berlari meretas rimba raya...

derap berderap pasukan kuda...
pasukan harus mati sekarang juga...
di tangan kuda terakhir perkasa...
di tangan dia letakan pelana...

delapandua hari jalani...
mata menanti jiwa memberi...
kuda nantinya berhenti...
dengan pasukan di punggung mati...

tebaran hati

gerimis padang sunyi...
kelinci jalan kaki...
bunga salut pelangi...
rumput tebarkan mentari...

gerimis padang sunyi...
putih keras hati...
ungu sehari- hari...
hijau mengakhiri...

gerimis padang sunyi...
puncak bukit sendiri...
beledu jaring simpati...
aku ilusi...
Whizzing of bullet, exploding of bomb
Lights of blitz gloomy
Procession of tank blowing dust
He still run like moose

Taking more pictures
Explosion, blood, euphoria, curse
Murderer, bomb, euphoria, tears
Everything change

One explosion
One moron
Too much blood
Little glad

The camera’s breaking
The owner falling
Never know what was happening
He’s dying

dia, sendyakala, dan semesta

lantunan sejuk nuansa redup...
tetesan damai di pucuk hijau...
hijau hijau dingin dan lirih...
menyeret imaji berbaur ilusi...

bongkah emas hangat melekat...
sirami wajah dalam sinaran...
semesta ruapkan harmoni...
makin indah, makin cerah...

seteru menantang, dia terdiam...
kuning menjadi emas...
meretas kesunyian mendalam...
datang, pergi, datang, akhirnya pergi...

sendyakala merangkum semua...
sebelum ditumpahkan sebagai catatan langit...
haru biru baur ungu melebur...
kuning hijau emas meletup...
mengatup...

sejenis permulaan

yeah..akhirnya bikin blog baru...setelah blog lama (doggiewoofwoof.blogspot.com) yang isinya agak nyampah dirasa udah gak relevan lagi...sekarang bikin blog baru yang isinya segala macam hal yang mungkin juga nyampah hasil menyiksa kibor laptop dan mata...postingan2 pertama yang masuk ke blog ini adalah hasil copast dari notes-penampungan sementara-fesbuk...abigailbertha@yahoo.co.id ...tapi postingan selanjutnya adalah postingan yang bener2 baru, pertama dipost di blog ini...

eniwei...here they are!!