Jumat, 10 September 2010

cerpen part 1

Malam ini hujan
Kamar, 11.22 p.m

Aku menunggu telepon darinya. Dari dia yang baru beberapa bulan kukenal. Dari dia yang selalu ada untuk membuatku tertawa.

Siang terik 3 bulan yang lalu
GOR, 15.00 p.m

Aku melihat dia diantara hiruk pikuk anak- anak berseragam SMA yang hendak masuk menonton pertandingan final basket. Aku menghampirinya. Tak ada alasan untuk menghindar, dia satu- satunya orang yang kukenal di antrian yang mengular ini. Aku menyapanya,” Hey, sama siapa?”

Aku menepuknya, pelan tapi mantap, dan dia tak menyangka.

”Eh, ketemu kamu. Nonton basket? Sendirian?”, sapanya antusias.

Apapun percakapan basa- basi kami, sampailah kami pada dua bangku berjejer dan teriakan kemenangan tim yang kami dukung. Dia sendiri, dan aku sendiri. Dia naik taksi dan aku naik taksi. Dia dan aku pulang bersama.

Sore harinya
Mall, 17.00 p.m

Aku lupa bagaimana kami menjadi cepat akrab, sepertinya itu mengalir begitu saja. Tiba- tiba saja aku mendapati diriku, bercelana pendek dan berkaus putih menemaninya makan.

Sejam yang lalu dia mengirim pesan singkat. Sedang ingin makan kebab katanya, dan bertanya dimana kebab yang enak. Aku ingin sombong sedikit. Aku lebih mengenal sudut kota ini daripada dia. Aku bilang aku tahu dan dia memintaku menemaninya. Kupikir apa salahnya, daripada aku hanya duduk diam di dalam kamar dan mereka- reka kegiatan hari itu. Aku sedang bosan. Memang.

Kami mengobrol banyak. Tentang basket yang baru kemarin kami tonton. Tentang musik yang kami sukai. Bahkan hobi aneh kami masing- masing.

Sore hari 2 bulan yang lalu
Kantin, 16.00 p.m

Tak sengaja selepas kelas kami bertemu. Bertemu untuk pertama kalinya setelah 3 minggu kami tak saling sapa. Selama 3 minggu aku merasa tak ada kepentingan dengannya, dan diapun begitu. Seharusnya kami tetap menjalin komunikasi jika ingin dekat. Tapi aku merasa tak punya kebutuhan apapun. Bertanya sesuatupun aku tak ingin.

Aku tersenyum, dan dia tersenyum. Aku melambai dan dia melambai. Aku memanggil namanya dan dia memanggil namanya. Sudah. Selesai.

Malam harinya
Kamar, 19.30 p.m

Aku merasa gagal berteman. Aku ingin dekat dengannya, tapi dia seperti tak berusaha dekat denganku. Aku tak ingin terlihat konyol dengan berusaha mendapat responnya. Itu bukan aku.

Tapi aku masih ingin dekat dengannya.

Ponselku ada di tangan.

Ah, apa salahnya berbasa- basi sejenak. Toh dia mengenalku.

Aku mengetik. Menghapusnya. Aku mengetik lagi. Menghapusnya lagi. Begitu seterusnya hingga terkirim pesan juga akhirnya sejam kemudian.


Gila, kaget tadi liat kamu. Kurusan yak :p
To:
Rey
+628587890687
Sent:
20:34:58
Today

Hahaha...Justru aku ngerasa gendutan. Kamu belum tidur?
Sender:
Rey
+628587890687
Received:
20:37:23
Today

Dia membalas tak lama kemudian. Entah seperti ada yang meraung di dalam diriku. Rasanya aku punya singa kecil yang mengaum dan berlarian. Aku mengakui, sepertinya memang dia yang selama ini membuatku tersenyum tanpa sebab. Dan kegembiraan yang berlebihan itu berlangsung hingga 3 jam kemudian.

Kayaknya aku udah ngantuk nih....berarti besok kamu yang jemput aku ke konser kampus? Jangan ngaret- ngaret yah :p
To:
Rey
+628587890687
Sent:
23: 06:18
Today

Oke...kapan sih aku ngaret...aku udah lama pengen nonton konser lagian. Gud nite 
Sender:
Rey
+628587890687
Received
23:12:03
Today

Tak perlu kujelaskan betapa bahagianya aku saat itu. Aku merasa ini langkah tepat untuk kembali menjalin hubungan. Tepat saat aku mengira tak ada lagi harapan dengannya. Tepat saat aku memutuskan untuk menghapus nomornya dari listku. Tepat saat aku berusaha menganggap tak pernah berkenalan dengannya.

Sore esoknya
Taman Kampus

Kami berlari menembus kerumunan ditengah guyuran hujan. Jas hujannya yang menutupi badan kami berdua tak kuasa menahan angin yang meniupkan bulir- bulir air dari langit. Kami basah. Kami kuyup. Kami senang.

Pelan- pelan kami menyenandungkan lagu favorit kami yang dibawakan band tersebut. Tak peduli apakah kami kedinginan. Tak peduli apakah hanya kami yang berdiri di depan panggung sementara pengunjung lain memilih berteduh. Tak peduli jas hujan kuning itu mulai jatuh. Terabaikan. Terlupakan. Yang penting kami berdua. Yang penting kami bersama. Dan tanganku digenggam. Di tengah guyuran hujan. Di tengah dingin yang menusuk. Di tengah pandangan iri manusia- manusia maniak kering itu. Tiba- tiba aku merasa hangat.

Malamnya
Ruang Tamu Kos

Hujan masih juga deras. Aku mengambilkan handuk kering untuknya. Handuk yang baru keluar laundry kemarin. Handuk yang masih menguarkan aroma pelembut pakaian. Dia duduk di depanku. Dia sibuk mengeringkan rambutnya. Dia sibuk memandangku. Dia sibuk tersenyum padaku. Dia juga baru saja kumasakkan mi instan rebus. Pakai telur. Tidak pedas. Aku tahu seleranya.

”Makasih ya, udah mau nemenin. Maaf aku pake acara ngerepotin kamu”

Tersenyum. Ditingkahi uap hangat mi instan yang baru juga dia tiup.
Aku hanya menyeringai. Aku tak habis pikir, dia mau menunggu hujan di kos ku. Padahal aku tahu, hujan seperti ini, baru larut malam berhenti. Tapi dia berkeras. Aku mengalah. Aku mempersilakannya masuk, duduk di ruang tamu. Aku membuatkan mi instan untuknya. Aku merelakan handuk yang sedianya mendapat giliran digunakan minggu itu. Hanya untuknya. Cowok baik. Cowok aneh. Cowok asik. Yang baru kutemui sebulan yang lalu. Yang baru dua kali mengajakku keluar. Yang pertemuan kami dilakukan tak sengaja. Yang sampai membuatku mau bersin- bersin karena kehujanan. Hanya untuk dia.

Siang hari 5 minggu yang lalu
Foodcourt sebuah mall

Kami baru saja menghabiskan waktu di game center. Dia baru saja mengalahkanku dalam permainan Dance Dance Revolution. Tak perlu menebak, kalian pasti sudah tahu dengan posturku yang seperti ini, aku bukanlah pemain DDR yang ideal. Aku kalah. Aku lelah. Dia tertawa. Dia lapar.

Maka kami memutuskan untuk makan di foodcourt yang terletak di lantai paling atas tersebut. Kami pergi ke booth favorit masing- masing, setelah sebelumnya memutuskan untuk bertemu kembali di sofa dekat jalan masuk foodcourt. Aku pergi ke booth rice bowl yang menawarkan paket besar dengan harga murah. Sangat bersahabat denganku yang sedang kelaparan.

Saat aku kembali, dia sudah duduk manis di sofa yang kami maksud, sambil tangannya memainkan boneka kecil dari booth makanan jepang bertuliskan nomor duapuluh. Dia bergeser memberiku tempat. Kami saling diam. Sibuk mengatur napas. Sibuk mengusap peluh. Dan sibuk dengan pikiran masing- masing.

Aku memandangnya.

Dia memandangku.

“Kenapa?”, tanyanya sambil melemparkan cengiran khasnya yang selalu membuatku tampak seperti pasien UGD yang diikat karena mabuk.

“Iiih...Aku cuma ngeliatin orang jalan- jalan kok. Boleh kaaaan?”

Dan dia menatapku, menimbang, kemudian tersenyum iseng.

Kemudian makanan kami datang. Bento yang ia pesan berisi 3 jenis lauk dan kondimen berupa onion ring yang merupakan kondimen gratis bila memesan paket tersebut. Nasinya nasi jepang yang diberi selembar nori di atasnya. Dengan minuman ice green tea yang membuat gelasnya berembun. Milikku lebih simpel. Hanya chicken teriyaki ricebowl dengan minumannya berupa air mineral dingin. Sesuai diet yang dipesankan dokterku.

Kami mulai makan dan menemukan bahan pembicaraan. Banyak yang kami obrolkan. Tentang games yang kami mainkan tadi. Tentang tugas- tugas kuliahnya, juga tugas kuliahku. Tentang spot yang asyik untuk didatangi. Hingga tentang keluarga masing masing.

Tak ada yang memaksaku untuk melakukan self disclosure padanya. Semua mengalir begitu saja. Terlebih aku ingin melihat bagaimana reaksinya jika diriku tidak sesuai dengan harapannya. Aku hanya ingin dia tahu, bahwa aku ingin dia mencari tahu tentang diriku.


to be continued...